Susu dan produk turunannya, seperti susu bebas laktosa dan susu oat, dapat dinikmati oleh berbagai kalangan. Sejak zaman dahulu, manusia mengonsumsi susu sapi dan domba. Namun, di balik kenikmatannya, peternakan susu juga memberikan dampak pencemaran lingkungan.
Hewan ternak seperti sapi, kerbau, domba, dan kambing menghasilkan gas metana melalui sistem pencernaan kompleks mereka. Gas ini, dikeluarkan melalui sendawa, kentut, dan kotoran, memiliki dampak lebih besar terhadap pemanasan global daripada karbondioksida. Penelitian menunjukkan bahwa gas metana memiliki potensi pemanasan global 25 kali lipat dibandingkan karbondioksida. Khususnya, sektor peternakan dapat memiliki dampak signifikan terhadap perubahan iklim, terutama di negara-negara dengan peternakan massal.
Penerapan di Selandia Baru
Selandia Baru berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca dari peternakan. Perdana Menteri Ardern mengusulkan pajak berbasis emisi untuk peternak, yang akan digunakan untuk mendukung riset dan teknologi pengurangan emisi serta memberikan insentif kepada peternak yang berkontribusi pada pengurangan emisi. Jika disetujui, ini akan menjadikan Selandia Baru negara pertama yang menerapkan pajak atas emisi gas rumah kaca dari peternakan pada tahun 2025.
Implementasi di Indonesia
Sejauh ini, pajak tambahan untuk peternak di Indonesia mungkin belum perlu. Sektor peternakan hanya menyumbang sekitar 2% dari total emisi gas rumah kaca, dan peternak sudah dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan beberapa komoditi ternak mendapatkan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dalam konteks kebutuhan susu, produksi masih jauh dari mencukupi. Meski demikian, di masa depan, jika sektor peternakan berkembang pesat dan menghasilkan emisi yang signifikan, penerapan pajak tambahan bisa menjadi pertimbangan di Indonesia
Referensi : pajak.go.id
Leave a Reply